Rabu, 14 Desember 2016

Makalah Riba

I.         PENDAHULUAN
Ayat-ayat yang berbicara tentang nafkah atau sedekah dalam berbagai aspeknya. Dalam anjuran bernafkah tersirat anjuran untuk bekerja dan meraih apa yang dapat dinafkahkan. Karena, bagaimana mungkin dapat memberi kalau anda tidak memiliki. Nah, cara perolehan harta yang dilarang oleh ayat ini, yaitu bertolak belakang dengan sedekah. Cara tersebut adalah riba. Sedekah adalah pemberian tulus dari yang mampu kepada yang butuh tanpa mengharap imbalan dari mereka. Riba adalah mengambil kelebihan di atas modal dari yang butuh dengan mengeksploitasi kebutuhannya. Para pemakan riba itulah yang dikecam oleh ayat ini, apalagi praktik ini dikenal luas di kalangan masyarakat Arab.
Sebenarnya, persoalan riba telah dibicarakan al-Qur’an sebelum ayat ini. Kata riba ditemukan dalam empat surah al-Qur’an, yaitu al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa’, dan ar-Rum. Tiga surah pertama turun di Madinah setelah Nabi berhijrah dari Mekkah, sedang ar-Rum turun di Mekkah. Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah adalah ayat 39 surah tersebut yang menyatakan , “Suatau riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah kelebihan pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah di sisi Allah.” Sedang, ayat terakhir tentang riba adalah ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-Baqarah, dimulai dari ayat 275 ini. Bahkan, ayat ini dinilai sebagai ayat hukum terakhir atau ayat terakhir yang diterima oleh Rasul saw. Umar Ibn Khaththab berkata bahwa Rasul saw. Wafat sebelum sempat menafsirkan maknanya, yakni secara tuntas.

II.      RUMUSAN MASALAH
1.      Jelaskan pengertian riba ?
2.      Bagaimana kandungan dalam surah al-Baqarah ayat 275-279 ?
3.      Bagaimana kandungan dalam surah Ali Imran ayat 130 ?
4.      Bagaimana kandungan dalam surah an-Nisa’ ayat 160-161 ?
5.      Bagaimana kandungan dalam surah ar-Rum ayat 39 ?





III.   PEMBAHASAN  
A.      Pengertian Riba
Riba dari segi bahasa adalah penambahan. Sementara para ahli hukum mengemukakan kaidah, bahkan ada yang menilainya hadits walau pada hakikatnya ia adalah hadits dha’if, bahwa (كلّ قر ض جرّ منفعة فهو حر ام) kullu qardhin jarra manfa’ah fahuwa haram/setiap piutang yang mengandung manfaat (melebihi jumlah utang), maka itu adalah haram (riba yang terlarang). Pandangan atau kaidah ini tidak sepenuhnya benar karena Nabi Muhammad saw. Pernah membernarkan pembayaran yang melebihi apa yang dipinjam. Sahabat Nabi, Jabir Ibn Abdillah, memberitakan bahwa “ia pernah mengutangi Nabi dan setelah berselang beberapa waktu ia mendatangi Nabi, beliau membayar dan melebihkannya” (HR. Bukhari dan Muslim); walau harus digaris bawahi, bahwa penambahan itu tidak disyaratkan sewaktu melakukan akad pinjam-meminjam.[1]
       Riba itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
1.    Riba Nasi’ah
     Yakni memberikan sejumlah utang yang akan dibayar dalam jangka waktu tertentu, misalnya sebulan, setahun, tetapi disyaratkan membayar tambahan (bunga), sebagai ganti dari waktu pemakaian uang itu (dalam istilah perbankan disebut kredit, pen). Sistim inilah yang kini dipakai oleh bank-bank, dan jenis inilah menurut nas diharamkan oleh al-Qur’an.
     Cara-cara seperti ini juga sudah dikenal pada masa jahiliyah, ketika al-Qur’an diturunkan. Ibnu Jarir mengatakan, “Di masa jahiliyah, seseorang memeberikan utang kepada orang lain, yang harus dilunasi pada waktu yang sudah disepakati. Apabila masa pembayarannya sudah tiba, dan pihak yang mempunyai uang menagih, tetapi orang yang berutang mengatakan, ‘Tangguhkanlah pembayaranku utangku, dan akan menambah (menambah bunga) uangmu’, lalu keduanya setuju. Demikianlah yang disebut sebagai riba nasi’ah (ad’afan muda’ afah). Kemudian Allah melarang perbuatan seperti itu lagi, ketika ia sudah memasuki Islam.
2.    Riba Fadal
          Jenis ini berlaku dalam jual beli sesuatu dengan sesuatu yang sejenis, disertai tambahan dari satu pihak kepada pihak lainnya.
Misalnya seseorang memiliki sepuluh kati gandum India, kemudian di tukar dengan tiga belas kati gandum Mesir. Atau, satu kwintal arang Inggris ditukar dengan satu satu setekah kwintal arang Itali. Atau satu kati anggur Mesir, ditukar dengan satu seperempat kati anggur dari Azmir (Turki). Demikian seterusnya dalam hal-hal yang bisa ditimbang.[2]
B.       Kandungan Surah al-Baqarah
Ayat 275
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah  disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa yang datang kepadanya peringatan dari Allah. Lalu ia berhenti  maka  baginya  adalah  apa  yang telah berlalu  dan urusannya  adalah  kepada Allah dan barang siapa yang kembali lagi, maka  mereka  adalah penghuni  neraka yang kekal di dalamnya .(QS. Al-Baqarah : 275)

Karena ayat ini telah didahului oleh ayat-ayat lain yang berbicara tentang riba, tidak heran jika kandungannya bukan saja melarang praktik riba, tetapi juga sangat mencela pelakunya, bahkan mengancam mereka.
Orang-orang yang makan, yakni bertransaksi dengan riba, baik dalam bentuk memberi ataupun mengambil, tidak dapat berdiri, yakni melakukan aktivitas, melainkan seperti berdirinya orang yang dibingungkan oleh setan sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh sentuhan(Nya).
Sebenarnya, tidak tertutup kemungkinan memahaminya sekarang dalam kehidupan dunia. Mereka yang melakukan praktik riba, hidup dalam situasi gelisah, tidak tenteram, selalu bingung, dan berada dalam ketidakpastian disebabkan pikiran mereka yang tertuju kepada materi dan penambahannya. Lihatlah keadaan manusia dewasa ini. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sedemikian pesat, tetapi lihat juga kehidupan masyarakat, lebih-lebih yang mempraktikkan riba. Di sana, mereka hidup dalam kegelisahan, tidak tahu arah, bahkan aktivitas yang tidak rasional mereka lakukan. Banyak orang, lebih-lebih yang melakukan praktik riba, menjadikan hidupnya hanya untuk mengumpulkan materi, dan saat itu mereka hidup tak mengenal arah. Terlepas apakah bursa saham halal atau haram, tetapi lihatlah bagaimana hiruk pikuknya penjualan saham itu. Benar, orang-orang yang memakan riba telah disentuh oleh setan sehingga bingung tak tahu arah.[3]
Ayat 276
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيم
“Allah memusnahkan riba (sedikit demi sedikit) dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang (berulang-ualng) melakukan kekufuran dan (selalu) berbuat banyak dosa.”
Kata يَمْحَقُ (yamhaq) yang diterjemahkan dengan memusnahkan, dipahami oleh pakar-pakar bahasa dalam arti mengurangi sedikit demi sedikit hingga habis, sama halnya dengan sinar bulan setelah purnama, berkurang sedikit demi sedikit, sehingga lenyap dari pandangan. Demikian juga dengan riba.
Penganiayaan yang timbul karena praktik riba menimbulkan kedengkian di kalangan masyarakat, khususnya kaum lemah. Kedengkian tersebut sedikit demi sedikit bertambah dan bertambah sehingga pada akhirnya menimbulkan bencana yang membinasakan. Banyak peristiwa yang membuktikan betapa mereka yang melakukan transaksi riba pada akhirnya terjerumus dalam kemiskinan. Demikianlah Allah memusnahkan riba sedikit demi sedikit, tidak terasa oleh pelakunya, kecuali setelah nasi menjadi bubur.
Lawan riba adalah sedekah. Tidak heran jika Allah menyuburkan sedekah. Jangan menduga penyuburan, penambahan, dan pengembangan itu hanya dari sisi spiritual atau kejiwaan yang dilahirkan oleh bantuan pemberi sedekah. Jangan duga hanya ketenangan batin dan ketenteraman hidup yang diraih oleh pemberi dan penerima. Dari segi material pun sedekah mengembangkan dan menambah harta.
Allah tidak menyukai, yakni tidak mencurahkan rahmat, kepada setiap orang yang berukang-ulang melakukan kekufuran dan selalu berbuat banyak dosa. Ayat ini sekali lagi mengisyaratkan kekufuran orang-orang yang mempraktikkan riba, bahkan kekufuran berganda sebagaimana dipahami dengan penggunaan kata (كَفَّارٍ)  kaffar bukan kafir. Kekufuran berganda itu adalah sekali ketika mereka mempersamakan riba dengan jual beli sambil menolak ketetapan Allah, di kali kedua ketika mempraktikkan riba, dan di kali ketiga ketiga tidak mensyukuri nikmat kelebihan yang mereka miliki, bahkan menggunakannya untuk menindas dan menganiaya. Orang yang melakukannya selalu berbuat banyak dosa karena penganiayaan yang dilakukannya bukan hanya menimpa satu orang, tetapi menimpa banyak orang, bukan hanya anggota keluarga yang kepala keluarganya terpaksa melakukan riba, bahkan menimpa seluruh masyarakat.[4]
Ayat 277

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ


“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Dalam ayat ini dijelaskan tentang perbuatan yang baik yang dapat menghindarkan diri dari perbuatan yang dimurkai Allah swt. 
Allah swt. menyebutkan bahwasanya orang yang mempunyai empat macam sifat, yang tersebut dalam ayat ini, tidak ada kekhawatiran atas diri mereka, dan mereka tidak bersedih hati terhadap segala cobaan yang ditimpakan Allah kepadanya. Empat macam sifat tersebut ialah: 
  1. Beriman kepada Allah 
  2. Mengerjakan amal saleh 
  3. Menunaikan salat 
  4. Menunaikan zakat 
            Bahwa keempat macam sifat itu dapat menjadi obat untuk menyembuhkan penyakit akibat memakan riba. Bila seseorang telah beriman kepada Allah swt., dengan iman yang sebenarnya, sekalipun ia sebelumnya adalah pemakan riba, maka iman itu akan mendorongnya ke arah perbuatan yang baik. Imannya itu akan mendorongnya mengerjakan salat dan menunaikan zakat yang merupakan hak orang lain yang ada pada hartanya itu. 
Ayat ini memberi pelajaran kepada pemakan riba yang tidak dapat menguasai dirinya menghentikan perbuatan itu. Seakan-akan Allah swt. berkata: "Hai, pemakan riba, berhentilah dari memakan riba. Jika kamu telah berniat menghentikannya, sedang kamu sendiri tidak dapat menguasai diri untuk menghentikannya, lakukanlah yang empat macam ini. Jika kamu melakukannya dengan benar-benar pasti dapat menghentikan riba itu." 
Pada akhir ayat ini Allah swt. menerangkan bahwa orang-orang yang mempunyai keempat sifat itu tenteram jiwanya, rela terhadap cobaan yang ditimpakan Allah kepadanya. Hal yang demikian tidak akan diperoleh pemakan riba. Yang mereka peroleh hanyalah kegelisahan hati, kewas-wasan, purbasangka, kebimbangan, seperti orang kemasukan setan.
Ayat 278
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang  beriman, bertakwalah  kepada Allah  dan  tinggalkanlah  sisa-sisa  riba. jika  memang  kamu  orang  yang  beriman.”
Bertakwalah kepada Allah, yakni hindarilah siksa Allah atau hindari jatuhnya sanksi dari Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha berat siksaNya. Menghindari hal itu, antara lain dengan menghindari praktik riba, bahkan meninggalkan sisa-sisanya.
Tinggalkan sisa riba, yakni yang belum dipungut. Al-‘Abbas, paman Nabi Muhammad saw., bersama seorang keluarga Bani al-Mughirah, bekerja sama mengutangi orang-orang dari kabilah Tsaqif secara riba. Setelah turunnya larangan riba, mereka masih memiliki sisa harta yang belum mereka tarik.
Maka, ayat ini melarang mereka mengambil sisa riba yang belum mereka pungut dan membolehkan mereka mengambil modal mereka. Ini jika kamu beriman. Penutup ayat ini mengisyaratkan bahwa riba tidak menyatu dengan iman dalam diri seseorang. Jika seseorang melakukan praktik riba, itu bermakna ia tidak percaya kepada Allah dan jani-janji-Nya. Dan, bila riba demikian, perang tidak dapat diletakkan. Karena itu, ayat berikut mengumumkan perang itu.[5]
ayat 279
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Jika  kamu  tidak melakukannya,   maka   terimalah   pernyataan   perang   dari Allah  dan  rasul  Nya  dan  jika  kalian  bertobat  maka  bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat zalim dan tidak  pula  dizalimi”.
            Jika kalian tidak mau meninggalkan sisa-sisa perbuatan riba seperti yang Aku perintahkan, maka ketahuilah bahwa kalian akan diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebab, kalian telah keluar dari garis-garis syari’at, dan tidak mau tunduk terhadap hukum-hukum Allah, serta mengesampingkan apa saja yang didatangkan oleh Rasul-Nya.
            Dalam ayat ini terkandung isyarat yang menunjukkan bahwa tidak adanya perasaan tunduk terhadap perintah-perintah syariat, berarti keluar dari garis-garis-Nya, bahkan menghina agama.
            Yang dimaksud dengan harbun minallah berarti akan mendapat murka Allah bagi orang-orang yang memakan riba. Kenyataan merupakan bukti nyata yang paling jelas yang menunjukkan kebenaran ini. Banyak sekali kita melihat orang yang suka melakukan riba, setelah tadinya menjadi kaya, telah berubah menjadi peminta-minta.
            Yang dimaksud dengan harbun min Rusulih, ialah mendapatkan perlawanan dari pihak Nabi saw. Ketika beliau masih hidup. Sebab, mereka dianggap sebagai orang yang telah keluar dari rel Islam. Mereka boleh diperangi dan dimusuhi, meski setelah wafatnya beliau yakni orang-orang yang meneruskan beliau dalam upaya menegakkan syariat.[6]
            Dan apabila kalian bertaubat dari perbuatan riba karena taat terhadap perintah-perintah agama, maka ambillah oleh kalian hanya modalnya saja, dan janganlah sekali-kali mengambil sesuatu (kelebihan, bunga atau apa saja namanya) dari orang-orang yang berutang. Jangan pula kalian mengurangi hak kalian, tetapi ambillah dalam jumlah utuh, seperti ketika berutang.
C.      Kandungan Surah Ali Imran ayat 130
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” 
Di dalam Surat Ali Imron ayat 130 ahli Tafsir menjelaskan bahwa lafadz يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ini yang dimaksud adalah kaum Sakif atau golongan manusia dari bani Sakif, kemudian lafadz لَا تَأْكُلُوا الرِّبَاأَضْعَافًا ini yang dimaksud adalah di dalam harta dirham yang berlebihan, disusul lagi lafadz sebagai penguwat yaitu مُضَاعَفَةً ini maksudnya adalah  الاجل misi atau tujuan, kemudian dilanjutkan lagi dengan kata وَاتَّقُوا اللَّهَ  takutlah kamu semua orang Iman kepada Allah di dalam memakan sesuatu yang mengandung Riba.  لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَini dengan maksud supanya kamu semua mendapatkan keselamatan dari murka seksaan Allah.
Dalam Tafsir di atas dalam Surat Ali Imron ayat 130 ini disimpulkan bahwa :
a. yang diperingatkan dalam ayat ini adalah Golongan Saqif, umumnya Ummat Mamusia beragama Islam
 b.Peringatan untuk menjahui makan Riba,
 c. Takutlah kepada Allah dalam makan harta Riba, dengan harapan tidak mendapat   murka dan Seksa dari Allah.
D.      Kandungan Surah an-Nisa’ ayat 160-161
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ (161)عَذَابًا أَلِيمًا
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”

Lafaz فَبِظُلْمٍمِنَ الَّذِينَ هَادُوا  artinya disebabkan keaniayaan atas perbutan orang-orang Yahudi, حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ yakni yang tersebut dalam Firman-Nya, “Kami haramkan setiap yang berkuku. “sampai akhir ayat وَبِصَدِّهِمْ  yakni manusai عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ maksudnya agama-Nya كَثِيرًا . Juga dalam lafadz وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ ini di utarakan dalam kitab Taurat وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ yakni dengan memberi suap dalam pengadilan وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا yakni menyakitkan.
Kesimpulan dalam tafsir tersebut bahwa :
1. Riba merupakan salah satu perbuatan yang Bathil, termasuk sesuatu yang diharamkan oleh Alloh adalah sesuatu yang berkuku,
2. Riba telah jelas diharamkan oleh Alloh begitu juga dalam kitab Taurat
3. Dan bagi orang yang Kafir sudah dipersiapkan oleh Allah tempat yang sesuai dengan perbuatannya yakni siksa yang pedih dan menyakitkan.
Pada ayat ini Allah menjelaskan kalau riba adalah pekerjaan yang batil, maka dari itu Allah juga menjelaskan dalam ayat tersebut bahwa Allah sudah menyiapkan mereka azab yang pedih. Sebagian ulama’ berkata : Orang-orang yang menghalalkan riba serta besar dosanya, maka diapun akan tahu betapa keadaan mereka-mereka kelak di hari akhirat, merka akan dikumpulkan dalam keadaan gila, kekal di neraka, disamakan dengan orang kafir akan mendapat perlawanan dari Allah dan Rasul serta kekal dalam la’nat.[7]


E.       Kandungan Surah ar-Rum ayat 39
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُون

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.
Ayat ini, seperti dapat kita pahami, mengandung penjelasan bahwa riba merupakan sesuatu negatif. Dalam ayat ini, Allah tidak menjelaskan siksaan bagi orang yang memakan harta riba. Hal ini sama dengan mengenai khamr tahap pertama, yang diturunkan di Makkah (Lihat: An- Nahl,16:67). Di dalam ayat ini, Allah mengisyaratkan secara halus bahwa apa yang disebut sebagai khamr bukan merupakan rezeki yang baik. Di sini belum dikatakan bahwa khamr merupakan minuman yang seharusnya dijauhi.
Yang dimaksud dengan keadaan orang-orang yang memakan riba di dunia ini, seperti orang yang sengaja melakukan perbuatan karena mereka gila, disebabkan mereka dimabukkan oleh kecintaan harta. Dan, setelah harta mampu memperbudak pikirannya, maka jiwanya menjadi ganas, ingin sekali mengumpulkan harta sebnayak mungkin, dan harta menjadi tujuan pokok kehidupannya. Mereka menganggap tidak perlu susah-susah dengan menjalankan riba, dan meninggalkan usaha lainnya. Sehingga, jiwa mereka keluar dari garis pertengahan yang banyak dianut orang.[8]
  
KESIMPULAN
Riba secara bahasa bermakna :  Ziyadah / tambahan. dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelasakan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambin tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prisip muamalah dalam Islam.
Keraguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan menjadikan para shahabat Nabi, seperti ucapan Umar Ibn Khaththab, “Meninggalkan sembilan per sepuluh dari yang halal.” ini disebabkan mereka tidak memperoleh informasi yang utuh tentang masalah ini langsung dari Nabi Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Di dalam Ayat-ayat tertang riba di atas bahwa ayat di atas itu disampaikan dengan cara bertahab-tahab mulai dari sesuatu yang dikabarkan tentang bahayanya yang akhirnya diharakkan-Nya. Maka kita sebagai Manusia yang Iman kepada Ayat Allah harus berusaha menjahui riba lebih-lebih tahu mana sesuatu yang riba dengan sesuatu yang tidak riba.

IV.             PENUTUP
            Demikian pemaparan makalah tentang kandungan ayat al-Qur’an yang membahas mengenai riba. Tentunya dalam makalah tersebut masih memerlukan kritik, saran dan masukan dari pembaca agar menjadikannya lebih baik dan manfaat.





DAFTAR PUSTAKA

Al-Maragi, Ahmad Mustafa. 1993. Terjemah: Tafsir Al-Maraghi 3. Semarang: PT. Karya Toha Putra.

Shihab,  M Quraish. 2012. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Ciputat: Lentera Hati.







[1] M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Ciputat: Lentera Hati, 2012), hlm. 719.
[2] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah: Tafsir Al-Maraghi 3, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993), hlm. 97-98.
[3] M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an., hlm. 716.
[4] M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an., hlm. 723-724.

[5] M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an., hlm. 725-726.
[6] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah: Tafsir Al-Maraghi 3, hlm. 116.

[8] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah: Tafsir Al-Maraghi 3., hlm. 104 dan 108.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar