I.
PENDAHULUAN
Ayat-ayat yang berbicara tentang nafkah atau sedekah dalam berbagai
aspeknya. Dalam anjuran bernafkah tersirat anjuran untuk bekerja dan meraih apa
yang dapat dinafkahkan. Karena, bagaimana mungkin dapat memberi kalau anda
tidak memiliki. Nah, cara perolehan harta yang dilarang oleh ayat ini, yaitu
bertolak belakang dengan sedekah. Cara tersebut adalah riba. Sedekah adalah
pemberian tulus dari yang mampu kepada yang butuh tanpa mengharap imbalan dari
mereka. Riba adalah mengambil kelebihan di atas modal dari yang butuh dengan
mengeksploitasi kebutuhannya. Para pemakan riba itulah yang dikecam oleh ayat
ini, apalagi praktik ini dikenal luas di kalangan masyarakat Arab.
Sebenarnya, persoalan riba telah dibicarakan al-Qur’an sebelum ayat
ini. Kata riba ditemukan dalam empat surah al-Qur’an, yaitu al-Baqarah, Ali
Imran, an-Nisa’, dan ar-Rum. Tiga surah pertama turun di Madinah setelah Nabi
berhijrah dari Mekkah, sedang ar-Rum turun di Mekkah. Ini berarti ayat pertama
yang berbicara tentang riba adalah adalah ayat 39 surah tersebut yang
menyatakan , “Suatau riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia
menambah kelebihan pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah di sisi
Allah.” Sedang, ayat terakhir tentang riba adalah ayat-ayat yang terdapat
dalam surah al-Baqarah, dimulai dari ayat 275 ini. Bahkan, ayat ini dinilai
sebagai ayat hukum terakhir atau ayat terakhir yang diterima oleh Rasul saw.
Umar Ibn Khaththab berkata bahwa Rasul saw. Wafat sebelum sempat menafsirkan
maknanya, yakni secara tuntas.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Jelaskan
pengertian riba ?
2.
Bagaimana
kandungan dalam surah al-Baqarah ayat 275-279 ?
3.
Bagaimana
kandungan dalam surah Ali Imran ayat 130 ?
4.
Bagaimana
kandungan dalam surah an-Nisa’ ayat 160-161 ?
5.
Bagaimana
kandungan dalam surah ar-Rum ayat 39 ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Riba
Riba dari segi
bahasa adalah penambahan. Sementara para ahli hukum mengemukakan kaidah, bahkan
ada yang menilainya hadits walau pada hakikatnya ia adalah hadits dha’if,
bahwa (كلّ قر ض
جرّ منفعة فهو حر ام) kullu
qardhin jarra manfa’ah fahuwa haram/setiap piutang yang mengandung manfaat
(melebihi jumlah utang), maka itu adalah haram (riba yang terlarang). Pandangan atau kaidah ini tidak sepenuhnya benar karena Nabi
Muhammad saw. Pernah membernarkan pembayaran yang melebihi apa yang dipinjam.
Sahabat Nabi, Jabir Ibn Abdillah, memberitakan bahwa “ia pernah mengutangi Nabi
dan setelah berselang beberapa waktu ia mendatangi Nabi, beliau membayar dan
melebihkannya” (HR. Bukhari dan Muslim); walau harus digaris bawahi, bahwa
penambahan itu tidak disyaratkan sewaktu melakukan akad pinjam-meminjam.[1]
Riba itu terbagi menjadi dua bagian,
yaitu :
1.
Riba Nasi’ah
Yakni memberikan sejumlah utang yang akan
dibayar dalam jangka waktu tertentu, misalnya sebulan, setahun, tetapi disyaratkan
membayar tambahan (bunga), sebagai ganti dari waktu pemakaian uang itu (dalam
istilah perbankan disebut kredit, pen). Sistim inilah yang kini dipakai oleh
bank-bank, dan jenis inilah menurut nas diharamkan oleh al-Qur’an.
Cara-cara seperti ini juga sudah dikenal
pada masa jahiliyah, ketika al-Qur’an diturunkan. Ibnu Jarir mengatakan, “Di
masa jahiliyah, seseorang memeberikan utang kepada orang lain, yang harus
dilunasi pada waktu yang sudah disepakati. Apabila masa pembayarannya sudah
tiba, dan pihak yang mempunyai uang menagih, tetapi orang yang berutang
mengatakan, ‘Tangguhkanlah pembayaranku utangku, dan akan menambah (menambah
bunga) uangmu’, lalu keduanya setuju. Demikianlah yang disebut sebagai riba
nasi’ah (ad’afan muda’ afah). Kemudian Allah melarang perbuatan seperti
itu lagi, ketika ia sudah memasuki Islam.
2.
Riba Fadal
Jenis ini berlaku
dalam jual beli sesuatu dengan sesuatu yang sejenis, disertai tambahan dari
satu pihak kepada pihak lainnya.
Misalnya seseorang memiliki sepuluh kati gandum India, kemudian di
tukar dengan tiga belas kati gandum Mesir. Atau, satu kwintal arang Inggris
ditukar dengan satu satu setekah kwintal arang Itali. Atau satu kati anggur
Mesir, ditukar dengan satu seperempat kati anggur dari Azmir (Turki). Demikian
seterusnya dalam hal-hal yang bisa ditimbang.[2]
B.
Kandungan Surah al-Baqarah
Ayat
275
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا
الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ
جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى
اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan
jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa yang datang kepadanya peringatan
dari Allah. Lalu ia berhenti maka baginya adalah
apa yang telah berlalu dan urusannya adalah kepada
Allah dan barang siapa yang kembali lagi, maka mereka adalah
penghuni neraka yang kekal di dalamnya .(QS. Al-Baqarah : 275)
Karena
ayat ini telah didahului oleh ayat-ayat lain yang berbicara tentang riba, tidak
heran jika kandungannya bukan saja melarang praktik riba, tetapi juga sangat
mencela pelakunya, bahkan mengancam mereka.
Orang-orang yang makan,
yakni bertransaksi dengan riba, baik dalam bentuk memberi ataupun mengambil,
tidak dapat berdiri, yakni melakukan aktivitas, melainkan seperti
berdirinya orang yang dibingungkan oleh setan sehingga ia tak tahu arah
disebabkan oleh sentuhan(Nya).
Sebenarnya,
tidak tertutup kemungkinan memahaminya sekarang dalam kehidupan dunia. Mereka
yang melakukan praktik riba, hidup dalam situasi gelisah, tidak tenteram,
selalu bingung, dan berada dalam ketidakpastian disebabkan pikiran mereka yang
tertuju kepada materi dan penambahannya. Lihatlah keadaan manusia dewasa ini.
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sedemikian pesat, tetapi
lihat juga kehidupan masyarakat, lebih-lebih yang mempraktikkan riba. Di sana,
mereka hidup dalam kegelisahan, tidak tahu arah, bahkan aktivitas yang tidak
rasional mereka lakukan. Banyak orang, lebih-lebih yang melakukan praktik riba,
menjadikan hidupnya hanya untuk mengumpulkan materi, dan saat itu mereka hidup
tak mengenal arah. Terlepas apakah bursa saham halal atau haram, tetapi
lihatlah bagaimana hiruk pikuknya penjualan saham itu. Benar, orang-orang yang
memakan riba telah disentuh oleh setan sehingga bingung tak tahu arah.[3]
Ayat 276
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ
كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيم
“Allah memusnahkan riba (sedikit demi sedikit) dan menyuburkan
sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang (berulang-ualng) melakukan
kekufuran dan (selalu) berbuat banyak dosa.”
Kata يَمْحَقُ (yamhaq) yang diterjemahkan dengan memusnahkan, dipahami oleh pakar-pakar bahasa
dalam arti mengurangi sedikit demi sedikit hingga habis, sama halnya dengan
sinar bulan setelah purnama, berkurang sedikit demi sedikit, sehingga lenyap
dari pandangan. Demikian juga dengan riba.
Penganiayaan yang timbul karena praktik riba menimbulkan kedengkian
di kalangan masyarakat, khususnya kaum lemah. Kedengkian tersebut sedikit demi
sedikit bertambah dan bertambah sehingga pada akhirnya menimbulkan bencana yang
membinasakan. Banyak peristiwa yang membuktikan betapa mereka yang melakukan
transaksi riba pada akhirnya terjerumus dalam kemiskinan. Demikianlah Allah
memusnahkan riba sedikit demi sedikit, tidak terasa oleh pelakunya, kecuali
setelah nasi menjadi bubur.
Lawan riba adalah sedekah. Tidak heran jika Allah menyuburkan
sedekah. Jangan menduga penyuburan, penambahan, dan pengembangan itu hanya dari
sisi spiritual atau kejiwaan yang dilahirkan oleh bantuan pemberi sedekah.
Jangan duga hanya ketenangan batin dan ketenteraman hidup yang diraih oleh
pemberi dan penerima. Dari segi material pun sedekah mengembangkan dan menambah
harta.
Allah tidak menyukai, yakni tidak mencurahkan rahmat, kepada setiap
orang yang berukang-ulang melakukan kekufuran dan selalu berbuat banyak dosa.
Ayat ini sekali lagi mengisyaratkan kekufuran orang-orang yang mempraktikkan
riba, bahkan kekufuran berganda sebagaimana dipahami dengan penggunaan kata (كَفَّارٍ) kaffar bukan kafir.
Kekufuran berganda itu adalah sekali ketika mereka mempersamakan riba dengan
jual beli sambil menolak ketetapan Allah, di kali kedua ketika mempraktikkan
riba, dan di kali ketiga ketiga tidak mensyukuri nikmat kelebihan yang mereka
miliki, bahkan menggunakannya untuk menindas dan menganiaya. Orang yang
melakukannya selalu berbuat banyak dosa karena penganiayaan yang dilakukannya
bukan hanya menimpa satu orang, tetapi menimpa banyak orang, bukan hanya
anggota keluarga yang kepala keluarganya terpaksa melakukan riba, bahkan
menimpa seluruh masyarakat.[4]
Ayat 277
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ
وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.”
Dalam ayat ini
dijelaskan tentang perbuatan yang baik yang dapat menghindarkan diri dari
perbuatan yang dimurkai Allah swt.
Allah swt.
menyebutkan bahwasanya orang yang mempunyai empat macam sifat, yang tersebut
dalam ayat ini, tidak ada kekhawatiran atas diri mereka, dan mereka tidak bersedih
hati terhadap segala cobaan yang ditimpakan Allah kepadanya. Empat macam sifat
tersebut ialah:
- Beriman kepada Allah
- Mengerjakan amal saleh
- Menunaikan salat
- Menunaikan zakat
Bahwa keempat macam sifat itu dapat menjadi
obat untuk menyembuhkan penyakit akibat memakan riba. Bila seseorang telah
beriman kepada Allah swt., dengan iman yang sebenarnya, sekalipun ia sebelumnya
adalah pemakan riba, maka iman itu akan mendorongnya ke arah perbuatan yang
baik. Imannya itu akan mendorongnya mengerjakan salat dan menunaikan zakat yang
merupakan hak orang lain yang ada pada hartanya itu.
Ayat ini
memberi pelajaran kepada pemakan riba yang tidak dapat menguasai dirinya
menghentikan perbuatan itu. Seakan-akan Allah swt. berkata: "Hai, pemakan
riba, berhentilah dari memakan riba. Jika kamu telah berniat menghentikannya,
sedang kamu sendiri tidak dapat menguasai diri untuk menghentikannya,
lakukanlah yang empat macam ini. Jika kamu melakukannya dengan benar-benar
pasti dapat menghentikan riba itu."
Pada akhir
ayat ini Allah swt. menerangkan bahwa orang-orang yang mempunyai keempat sifat
itu tenteram jiwanya, rela terhadap cobaan yang ditimpakan Allah kepadanya. Hal
yang demikian tidak akan diperoleh pemakan riba. Yang mereka peroleh hanyalah
kegelisahan hati, kewas-wasan, purbasangka, kebimbangan, seperti orang
kemasukan setan.
Ayat 278
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah
sisa-sisa riba. jika memang kamu orang yang
beriman.”
Bertakwalah
kepada Allah, yakni hindarilah siksa Allah atau hindari jatuhnya sanksi
dari Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha berat siksaNya. Menghindari hal
itu, antara lain dengan menghindari praktik riba, bahkan meninggalkan
sisa-sisanya.
Tinggalkan
sisa riba, yakni yang belum dipungut. Al-‘Abbas, paman Nabi Muhammad saw.,
bersama seorang keluarga Bani al-Mughirah, bekerja sama mengutangi orang-orang
dari kabilah Tsaqif secara riba. Setelah turunnya larangan riba, mereka masih
memiliki sisa harta yang belum mereka tarik.
Maka, ayat
ini melarang mereka mengambil sisa riba yang belum mereka pungut dan
membolehkan mereka mengambil modal mereka. Ini jika kamu beriman.
Penutup ayat ini mengisyaratkan bahwa riba tidak menyatu dengan iman dalam diri
seseorang. Jika seseorang melakukan praktik riba, itu bermakna ia tidak percaya
kepada Allah dan jani-janji-Nya. Dan, bila riba demikian, perang tidak dapat
diletakkan. Karena itu, ayat berikut mengumumkan perang itu.[5]
ayat 279
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا
تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Jika kamu
tidak melakukannya, maka terimalah
pernyataan perang dari Allah dan
rasul Nya dan jika kalian bertobat
maka bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat zalim dan
tidak pula dizalimi”.
Jika kalian tidak mau meninggalkan
sisa-sisa perbuatan riba seperti yang Aku perintahkan, maka ketahuilah bahwa
kalian akan diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebab, kalian telah keluar dari
garis-garis syari’at, dan tidak mau tunduk terhadap hukum-hukum Allah, serta
mengesampingkan apa saja yang didatangkan oleh Rasul-Nya.
Dalam ayat ini terkandung isyarat
yang menunjukkan bahwa tidak adanya perasaan tunduk terhadap perintah-perintah
syariat, berarti keluar dari garis-garis-Nya, bahkan menghina agama.
Yang dimaksud dengan harbun minallah
berarti akan mendapat murka Allah bagi orang-orang yang memakan riba. Kenyataan
merupakan bukti nyata yang paling jelas yang menunjukkan kebenaran ini. Banyak
sekali kita melihat orang yang suka melakukan riba, setelah tadinya menjadi
kaya, telah berubah menjadi peminta-minta.
Yang dimaksud dengan harbun min
Rusulih, ialah mendapatkan perlawanan dari pihak Nabi saw. Ketika beliau masih
hidup. Sebab, mereka dianggap sebagai orang yang telah keluar dari rel Islam.
Mereka boleh diperangi dan dimusuhi, meski setelah wafatnya beliau yakni
orang-orang yang meneruskan beliau dalam upaya menegakkan syariat.[6]
Dan apabila kalian bertaubat dari
perbuatan riba karena taat terhadap perintah-perintah agama, maka ambillah oleh
kalian hanya modalnya saja, dan janganlah sekali-kali mengambil sesuatu
(kelebihan, bunga atau apa saja namanya) dari orang-orang yang berutang. Jangan
pula kalian mengurangi hak kalian, tetapi ambillah dalam jumlah utuh, seperti
ketika berutang.
C.
Kandungan Surah Ali Imran ayat 130
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”
Di dalam Surat Ali Imron ayat 130
ahli Tafsir menjelaskan bahwa lafadz يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ini yang dimaksud adalah kaum Sakif atau
golongan manusia dari bani Sakif, kemudian lafadz لَا تَأْكُلُوا الرِّبَاأَضْعَافًا ini yang dimaksud adalah di dalam harta
dirham yang berlebihan, disusul lagi lafadz sebagai penguwat yaitu مُضَاعَفَةً ini maksudnya adalah الاجل misi atau tujuan, kemudian dilanjutkan
lagi dengan kata وَاتَّقُوا اللَّهَ takutlah kamu semua orang Iman kepada
Allah di dalam memakan sesuatu yang mengandung Riba. لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَini dengan maksud supanya kamu semua
mendapatkan keselamatan dari murka seksaan Allah.
Dalam Tafsir di atas dalam Surat Ali
Imron ayat 130 ini disimpulkan bahwa :
a. yang
diperingatkan dalam ayat ini adalah Golongan Saqif, umumnya Ummat Mamusia
beragama Islam
b.Peringatan untuk menjahui makan Riba,
c. Takutlah kepada Allah dalam makan harta
Riba, dengan harapan tidak mendapat murka
dan Seksa dari Allah.
D.
Kandungan Surah an-Nisa’ ayat 160-161
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ
لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا
وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا
لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ (161)عَذَابًا
أَلِيمًا
“Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan
riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Lafaz فَبِظُلْمٍمِنَ الَّذِينَ هَادُوا artinya disebabkan keaniayaan atas
perbutan orang-orang Yahudi, حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ
طَيِّبَاتٍ yakni yang tersebut dalam
Firman-Nya, “Kami haramkan setiap yang berkuku. “sampai akhir ayat وَبِصَدِّهِمْ yakni manusai عَنْ
سَبِيلِ اللَّهِ maksudnya agama-Nya كَثِيرًا .
Juga dalam lafadz وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا
عَنْهُ ini di utarakan dalam kitab Taurat وَأَكْلِهِمْ
أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ yakni dengan memberi suap dalam
pengadilan وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا
أَلِيمًا yakni menyakitkan.
Kesimpulan dalam tafsir
tersebut bahwa :
1. Riba merupakan salah
satu perbuatan yang Bathil, termasuk sesuatu yang diharamkan oleh Alloh adalah
sesuatu yang berkuku,
2. Riba telah jelas
diharamkan oleh Alloh begitu juga dalam kitab Taurat
3. Dan bagi orang yang
Kafir sudah dipersiapkan oleh Allah tempat yang sesuai dengan perbuatannya
yakni siksa yang pedih dan menyakitkan.
Pada ayat ini Allah
menjelaskan kalau riba adalah pekerjaan yang batil, maka dari itu Allah juga menjelaskan
dalam ayat tersebut bahwa Allah sudah menyiapkan mereka azab yang pedih.
Sebagian ulama’ berkata : Orang-orang yang menghalalkan riba serta besar
dosanya, maka diapun akan tahu betapa keadaan mereka-mereka kelak di hari
akhirat, merka akan dikumpulkan dalam keadaan gila, kekal di neraka, disamakan
dengan orang kafir akan mendapat perlawanan dari Allah dan Rasul serta kekal
dalam la’nat.[7]
E.
Kandungan Surah ar-Rum ayat 39
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ
اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُضْعِفُون
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.
Ayat ini, seperti dapat kita pahami, mengandung penjelasan bahwa
riba merupakan sesuatu negatif. Dalam ayat ini, Allah tidak menjelaskan siksaan
bagi orang yang memakan harta riba. Hal ini sama dengan mengenai khamr tahap
pertama, yang diturunkan di Makkah (Lihat: An- Nahl,16:67). Di dalam ayat ini,
Allah mengisyaratkan secara halus bahwa apa yang disebut sebagai khamr bukan
merupakan rezeki yang baik. Di sini belum dikatakan bahwa khamr merupakan
minuman yang seharusnya dijauhi.
Yang dimaksud dengan keadaan orang-orang yang memakan riba di dunia
ini, seperti orang yang sengaja melakukan perbuatan karena mereka gila,
disebabkan mereka dimabukkan oleh kecintaan harta. Dan, setelah harta mampu
memperbudak pikirannya, maka jiwanya menjadi ganas, ingin sekali mengumpulkan
harta sebnayak mungkin, dan harta menjadi tujuan pokok kehidupannya. Mereka
menganggap tidak perlu susah-susah dengan menjalankan riba, dan meninggalkan
usaha lainnya. Sehingga, jiwa mereka keluar dari garis pertengahan yang banyak
dianut orang.[8]
KESIMPULAN
Riba secara bahasa bermakna : Ziyadah
/ tambahan. dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti
Tumbuh dam membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam
menjelasakan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan
bahwa riba adalah pengambin tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun
pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prisip muamalah dalam
Islam.
Keraguan terjerumus ke dalam riba
yang diharamkan menjadikan para shahabat Nabi, seperti ucapan Umar Ibn
Khaththab, “Meninggalkan sembilan per sepuluh dari yang halal.” ini disebabkan
mereka tidak memperoleh informasi yang utuh tentang masalah ini langsung dari
Nabi Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Di dalam Ayat-ayat tertang riba di
atas bahwa ayat di atas itu disampaikan dengan cara bertahab-tahab mulai dari
sesuatu yang dikabarkan tentang bahayanya yang akhirnya diharakkan-Nya. Maka
kita sebagai Manusia yang Iman kepada Ayat Allah harus berusaha menjahui riba
lebih-lebih tahu mana sesuatu yang riba dengan sesuatu yang tidak riba.
IV.
PENUTUP
Demikian pemaparan makalah tentang
kandungan ayat al-Qur’an yang membahas mengenai riba. Tentunya dalam makalah
tersebut masih memerlukan kritik, saran dan masukan dari pembaca agar
menjadikannya lebih baik dan manfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maragi,
Ahmad Mustafa. 1993. Terjemah: Tafsir Al-Maraghi 3. Semarang: PT. Karya
Toha Putra.
Shihab,
M Quraish. 2012. Tafsir Al-Mishbah:
Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Ciputat: Lentera Hati.
http://tafakurfiqolbi.blogspot.co.id/2012/06/tafsir-ayat-ayat-riba.html Jumat, 30 Oktober 2015
[1]
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2012), hlm. 719.
[2]
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah: Tafsir Al-Maraghi 3, (Semarang: PT.
Karya Toha Putra, 1993), hlm. 97-98.
[3] M
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an., hlm.
716.
[4] M
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an., hlm.
723-724.
[5] M
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an., hlm.
725-726.
[6]
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah: Tafsir Al-Maraghi 3, hlm. 116.
[8] Ahmad
Mustafa Al-Maragi, Terjemah: Tafsir Al-Maraghi 3., hlm. 104 dan 108.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar